BANTEN (babadbanten.com). Pengalaman NU dalam meniti organisasi sejak zaman kolonial hingga zaman reformasi penuh onak dan duri, membuat NU matang dalam menyikapi setiap persoalan kebangsaan, Keindonesiaan dan Keagamaan. Hal ini sangat terlihat dari komitmen NU dalam menjaga dan merawat NKRI, UUD 1945, Pancasila dan kebhinekaan Tunggal Ika. Sehingga Pandangan kebangsaan, Keindonesiaan dan Keislaman NU sangat menarik dikaji.
Bila menyimak penuturan para ulama NU tentang keislaman, kebangsaan dan keindonesiaan adalah merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Islam, Indonesia dan Bangsa merupakan kal jasadi wahid. Seperti satu tubuh yang saling menyatu dan menguatkan.
Bicara Islam ya Indonesia, bicara Indonesia ya Bangsa, bicara bangsa ya bhineka tunggal ika, bicara tunggal ika ya bicara pancasila, bicara pancasila ya bicara UUD 1945, bicara UUD 1945 ya bicara Indonesia. Islam adalah Indonesia. Semangat Islam adalah semangat Indonesia. Pandangan inilah yang sangat jelas terbaca dari Ulama-ulama NU.
Menurut penulis, pandangan Ulama NU seperti itu sangat revolusioner. Seperti ungkapan Ulama terdahulu, Adat bersendikan Syara’, syara’ Bersendikan Kitabullah adalah bentuk formula pandangan untuk mengkikis bahkan menghapus garis pemisah sumber konflik antara agama dan adat. Dakwah Walisongo yang mengedepankan Semangat Islam Rahmatan lil Alamin di Nusantaraadalah bukti dalam sejarah membuahkan hasil yang gemilang. Islam menjadi spirit, pandangan dan tata nilai masyarakat Nusantara. Islam tidak hanya mengganti ‘agama’ dan adat istiadat Nusantara namun lebih dari itu, akar Islam menghujam kedalam bumi Nusantara dengan kokoh.
sedangkan, penjajahan koloni Kerajaan Eropa yang beratus ratus tahun menguasai tanah air nusantara dengan missi 3 G (gold,Glory dan Gospel) gagal mencerabut akar Islam yang sudah ditanam kokoh oleh Walisongo. Inilah kekuatan Islam Nusantara hasil dakwah para Walisongo yang sudah menjadi keajaiban dunia.
NU sebagai pewaris dan pelanjut dakwah Walisongo secara pola tidak jauh berbeda dengan Pola dakwah Walisongo. meskipun secara kontektualisasinya harus disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan zaman. Tokoh NU seperti Gusdur sudah sangat jelas memiliki pandangan dan sikap yang inklusif. banyak dari tokoh NU memiliki pandangan semangat keislaman paralel dengan semangat keindonesiaan dan kebhineka tunggal ika. Islam menjadi perekat bangsa bukan malah menjadi garis pemisah antara aku dan kamu.
Semangat Kebangsaan yang dicontohkan para Ulama NU merupakan bentuk Tauladan yang harus menjadi referensi utama kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa membedakan Suku Ras dan agama serta mengedepankan semangat kebangsaan yang sejajar dan sederajat. Inilah sikap revolusioner yang ditunjukan oleh para tokoh tokoh NU dalam kehidupan berbangsa sebagai khazanah kita.
Adalah fakta, bangsa Indonesia sangat majemuk. Baik dari suku, bahasa, dan agama. Namun perbedaan itu sudah diikat oleh tali batin yang kokoh yaitu Pancasila sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945. Pancasila sebagai tali batin bangsa Indonesia haruslah dijaga semangatnya. Haruslah selalu di update dan di upgrade pembaharuannya. Karena jiwa pancasila itu hidup dan sangat mempengaruhi kehidupan berbangsa kita.
Pancasila jangan lagi dijadikan palu godam pemukul lawan politik seperti zaman orde baru. Pancasila juga jangan hanya dijadikan aksesoris politik saja tanpa ada aksi nyata membumikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sebagaimana pesan Pancasila haruslah menjadi spirit nyata dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang kuat, bermartabat dan sejahtera.
Inilah menurut saya, catatan yang menjadi PR besar NU diusianya yang ke 102 tahun. Bagaimana NU menjaga semangat Keindonesiaan pada setiap zamannya dari serangan kasat mata terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika serta mampu menegakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti Para Walisongo yang telah teruji menjaga warisan para Sultan dan Raja se Nusantara yang kini bernama Indonesia dari koloni bangsa Penjajah.
Selamat 102 Tahun NU ku, NU kamu, NU kita. Tetaplah menusantara. (writer Soleh).