Menu

Mode Gelap
Anis Baswedan Jadi Ketum PPP? Konfigurasi Politik Nasional segera berubah!!! Sultan Banten IX Tirtayasa: Memaknai Idul Adha adalah Memaknai Pengorbanan Tulus Ikhlas Nabi Ibrahim Pesan Idul Adha dari Ketum PW JATMA ASWAJA Banten KH Tubagus Sehabudin Assa’idiy Diantar hujan-hujanan, Sapi Kurban Kapolres Metro Tangerang Kota Sudah didistribusikan. KH Tb Sehabudin Ucapkan Terimakasih. Bupati Kabupaten Tangerang Drs. H. Moch Maesyal Rasyid M.Si Serahkan Hewan Kurban Sapi ke Masyarakat Buaran Bambu Pakuhaji

Berita · 11 Mar 2025 03:45 WIB ·

REFORMASI PERBANKAN INDONESIA


 Dr Safari Ans bersama Princess Edna Atdales Franco Keluarga dari Ferdinand Marcos Filipina di PBB New York Perbesar

Dr Safari Ans bersama Princess Edna Atdales Franco Keluarga dari Ferdinand Marcos Filipina di PBB New York

REFORMASI PERBANKAN INDONESIA

Oleh Dr Safari Ans

Jakarta, Selasa 11/03/2025 (babadbanten.com). Ide dasar mendirikan Danantara sebagai lembaga investasi raksasa sangat bagus dan tepat. Tetapi setelah melihat siapa yang duduk, publik melihat ada ketidakpastian. Karena tokoh-tokoh kunci dipandang publik, bukanlah yang bersih dalam Pemerintahan. Artinya, niatnya sangat positif dimata publik, tetapi kemudian redup ketika tokoh-tokoh bermasalah duduk sebagai pemegang kunci kebijakan perusahaan.

Apalagi, kinerja Danantara akan bersifat tertutup. Sehingga kecurigaan publik, Danantara akan menjadi tempat mencuci uang besar yang selama ini bermasalah baik secara historical fund mau secara banking.

Pertama, uang yang dicetak di Australia di zaman Soeharto hingga mencapai Rp 13.000 triliun yang banyak dititipkan pada banyak orang selama ini, kemungkinan diinvestasikan paksa ke Danantara. Padahal uang yang dibandrol dengan gambar Kanguru ini tidak bisa masuk sistem bank, karena tidak menggunakan kolateral. Karena Soeharto gagal mengeksekusi aset Soekarno di UBS Swiss waktu melalui Azwar Anas. Lalu George Soros berjanji sama Soeharto akan membantu, juga gagal mendapatkan kolateral. Lebih dari separuh kekayaan pemain uang dunia itu lenyap untuk membeli beberapa dokumen “amanah” Nusantara ternyata tidak bisa dieksekusi.

Kedua, Presiden Jokowi juga akan memasukan sekitar Rp 11.000 triliun termasuk Rp 1.700 triliun yang sudah dieksekusi menjelang Pilpres 2024 lalu. Semua uang ini memiliki masalah kolateral, sehingga pihak Bank Indonesia (BI) selama ini tidak dapat mengeksekusi dalam sistem perbankkan. Sebab, jika dipaksakan Bank Dunia akan memberikan teguran serius kepada BI. Sebab, vakum dunia internasional, uang yang beredar harus dijamin oleh emas sebagai kolateral.

Jika keberadaan uang era Soeharto maupun era Jokowi dipaksakan masuk dalam skema investasi Danantara, dikhawatirkan terjadi deflasi yang tinggi. Akibatnya nilai rupiah akan terjun bebas dalam deretan mata uang dunia. Saat ini rupiah terpuruk hingga mencapai Rp 16.400,- per dollar Amerika Serikat (AS). Apalagi sistem keuangan kita berdasarkan harga pasar, bukan flate seperti Tiongkok. Akibat deflasi, akan mengancam daya beli masyarakat dan perusahaan. Maka ancaman PHK besar-besaran tidak bisa terelakan. Lonjakan harga pangan dan produksi pun tidak bisa dihindarkan. Kondisi ini akan memancing demo besar-besaran akibat akibat beban hidup masyarakat semakin berat.

Ketiga, di BI uang yang tidak bertuan bisa mencapai Rp 5.000 triliun saat ini. Sebenarnya uang tersebut ada yang punya, namun beberapa persyaratan bank tidak lengkap, maka uang tersebut menggantung. Masyarakat awam menyebutnya rekening “rupa-rupa”. Lalu, kemudian uang-uang tak bertuan ini menjadi bancakan politik bagi partai politik yang berkuasa. Sehingga uang semacam ini semakin mempertajam daya korupsi di negeri ini. Apalagi BI tidak bisa mencairkan uang-uang besar di BI (apapun statusnya) tanpa persetujuan DPR. Sehingga bagi-bagi uang haram akan semakin menggila di tanah air.

Sistem keuangan dan perbankan di Eropa dan AS telah menggunakan Quantum Financial System (QFS). Sistem ini menjadikan uang yang dikirim dari negara itu sudah dijamin dengan kolateral emas, sehingga uang yang dikirim ke Indonesia, begitu masuk dalam rekening penerima bisa dipakai saat itu juga tanpa perlu menggunakan nostro account hasil ekspor negara itu. Sedangkan perbankan di Indonesia, masih menganut hukum bank Belanda. Dimana setiap uang yang masuk ke Indonesia harus melalui swift wire. Begitu uang masuk ke rekening yang dituju, maka sang penerima harus memiliki dokumen bukti pengiriman. Jika tidak ada bukti pengiriman, maka uang tersebut tidak bisa diproses oleh bank. Lalu uang yang sudah masuk di hold (ditahan) bukan dikembalikan ke pengirim. Sedangkan sistem QFS tidak akan mengirimkan bukti kirim ke penerima.

Pun, kalau ada bukti kirim, sang pemilik rekening penerima belum bisa menggunakan uangnya. Ia harus menunggu hingga lima hari. Karena bank penerima masih membutuhkan waktu untuk melakukan konfirmasi. Selesai melakukan konfirmasi ke bank pengirim, bank penerima harus menggunakan nostro account di negara pengirim. Selesai itu, bank penerima harus menyiapkan underlying, berupa proyek yang akan dibiayai oleh uang kiriman tersebut. Apabila underlying tidak memadai, maka uang kiriman tersebut akan di hold (tahan) lagi. Lagi pula pengiriman uang dengan swift wire MT103 tidak bisa dalam jumlah besar. Maka ketika Presiden Jokowi melakukan Tax Amnesty hingga dua jilid, tetap saja uang masuk hanya uang receh alias gagal.

Artinya, jika Indonesia berharap uang besar masuk, maka langkah pertama harus melakukan mereformasi sistem perbankan dulu. Karena sistem perbankan kita sudah terlanjur buruk di mata para bankir dunia. Istilah mereka, “Mengirimkan uang ke Indonesia, akan hilang dalam sistem”. Rekening sang pengirim uang sudah terpotong, tetapi sang penerima belum mendapat kabar uangnya masuk. Penulis mengalami sendiri peristiwa ini. Uang kiriman di rekening sempat muncul di rekening dua hari. Ketika penulis mau print out di teller, pihak Kepala Cabang menanyakan kepada penulis bukti kirim. Ketika penulis bilang tidak ada. Maka uang kiriman tersebut lenyap di layar rekening hingga kini. Penulis malah sudah sampai ke Presiden Jokowi agar dicairkan, tetapi ketika sang Direktur Utama bank dipanggil Presiden mengatakan bahwa uang penulis benar ada, tetapi bank bersangkutan tidak bisa merilis karena ada persyaratan bank yang tidak terpenuhi. Ya itu tadi karena tidak ada bukti kirim. Sehingga uang penulis dari tahun 2014 hingga kini tidak bisa diambil dan menghilang dari layar account bank dan entah kemana. Itulah yang disebut para bankir bank, hilang dalam sistem. Sialnya, yang penulis alami juga dialami banyak nasabah bank di Indonesia.

Belum lagi rekening-rekening di BI banyak yang menguap tanpa sebab yang jelas. Kalau di negara maju, uang yang tidak bertuan akan menjadi milik negara. Misalnya pemilik rekening meninggal, sedangkan sanak saudara tidak ada. Kalau bank yang benar seperti UBS Swiss, kondisi seperti ini mengharuskan bank membuat pengumuman di koran di negara nasabah. Pengumuman itu mencari nama seseorang yang berhubungan dengan nasabah. Jika sudah diumumkan di koran, tidak juga ada kabar, barulah uang tersebut masuk ke semacam baitul mal yang dikelola oleh negara. Di Indonesia, uang semacam itu jadi rebutan para bankir. Sehingga moral para bankir di Indonesia perlu dibenahi, karena bank bermodalkan kepercayaan (trust). Jika bank sudah tidak bisa dipercaya, maka hanya nunggu kebangkerutan saja.

Dengan demikian, sebelum Indonesia melakukan kampanye investasi besar-besaran, maka Indonesia perlu melakukan reformasi sistem perbankan. Karena bank merupakan urat nadi investasi di Indonesia. Jika sistemnya buruk ditambah banyaknya bankir nakal di tanah air membuat citra perbankan amat menyedihkan. Sehingga banyak konsultan keuangan dunia menyarankan kepada kliennya untuk tidak mengirimkan uangnya ke Indonesia, karena akan hilang dalam sistem.

Oleh karena itu, agar uang besar bisa masuk ke Indonesia, sebaiknya Indonesia mengadopsi QFS, agar perbankan kita dapat menerima dan selaras dengan sistem yang sudah berkembang secara modern saat ini di Eropa dan AS. Sehingga pengiriman uang tidak hilang dalam sistem. Akhir tahun 2024 lalu, ada tiga kali pengiriman melalui MT103 ke BNI. Pengirimnya Deutsche Bank. Ketiga swifi wire bernilai €47 triliun (empat puluh tujuh triliun Euro). Pengiriman itu akan bernasib sama, hilang dalam sistem. Karena mereka hanya tau bahwa satu-satu pengiriman uang ke Indonesia hanya lewat swift wire MT103. Sedangkan perbankan Eropa telah berkembang jauh. Mereka memiliki beragam untuk mengirimkan uang nasabahnya. Misalnya UBS telah menggunakan sistem EBICS (Electronic Bade Internet Communication Standard) antar sesama cabang mereka di seluruh dunia. Sehingga ratusan miliar dollar bisa dikirim dalam hitungan menit.

Saran penulis, jika ingin memasukkan uang-uang besar dalam sistem (tidak berkoleteral), sebaiknya pihak Indonesia melakukan lobi dengan Anak Dewa. Karena Anak Dewa (orang Indonesia) memiliki cadangan emas yang sangat banyak. Masak AS sendiri bisa dipinjami emas oleh Anak Dewa 140 juta kilogram, negara sendiri kok tidak dibantu. Dan jangan paksakan memasukan uang tanpa kolateral, karena akan menghancurkan perbankan dan ekonomi kita dalam jangka panjang. Resikonya terlalu besar dibandingkan manfaatnya. Salam Safari Ans.

Editor : Saderun Muda

Artikel ini telah dibaca 57 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Anis Baswedan Jadi Ketum PPP? Konfigurasi Politik Nasional segera berubah!!!

10 Juni 2025 - 07:29 WIB

Sultan Banten IX Tirtayasa: Memaknai Idul Adha adalah Memaknai Pengorbanan Tulus Ikhlas Nabi Ibrahim

10 Juni 2025 - 01:55 WIB

Pesan Idul Adha dari Ketum PW JATMA ASWAJA Banten KH Tubagus Sehabudin Assa’idiy

9 Juni 2025 - 01:53 WIB

Diantar hujan-hujanan, Sapi Kurban Kapolres Metro Tangerang Kota Sudah didistribusikan. KH Tb Sehabudin Ucapkan Terimakasih.

8 Juni 2025 - 11:58 WIB

Bupati Kabupaten Tangerang Drs. H. Moch Maesyal Rasyid M.Si Serahkan Hewan Kurban Sapi ke Masyarakat Buaran Bambu Pakuhaji

7 Juni 2025 - 00:38 WIB

MEMAHAMI KEBERADAAN SISTEM ASET NUSANTARA

5 Juni 2025 - 06:35 WIB

Trending di Berita